The Biology of Love: Behind The Love and Happiness
22 Februari 2021. Ditulis oleh Tsana Afrani.
Partners, kita tahu bahwa hampir semua orang ingin hidup bahagia. Selain itu, hampir semua orang juga menginginkan hubungan yang penuh kasih — bahkan dengan orang-orang yang sedang berseteru dengan kita. Ketika kita mencoba untuk melihat keterkaitannya, bukanlah hal yang baru untuk diketahui bahwa salah satu jawaban untuk hidup bahagia adalah dengan memiliki cinta. Cinta adalah kunci dari kebahagiaan. Cinta meresapi berbagai aspek kehidupan manusia. Cinta juga menjadi alasan begitu banyak lagu dan puisi diciptakan di dunia ini.
Pepatah lama yang menyatakan bahwa ‘love heals’ ternyata cukup benar adanya.
Love is deeply biological.
Adanya zat kimia seperti neuropeptida di dalam otak manusia menyebabkan kita memiliki kemampuan untuk mencintai, yang mana hal tersebut dapat mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan kita. Cinta juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi fisik dan mental. Ketika peristiwa patah hati atau kegagalan dalam suatu hubungan menyebabkan kesedihan yang cukup mendalam, hal tersebut diketahui dapat memberikan dampak negatif pada fisiologi individu. Bahkan, jika dampak negatif tersebut dirasakan dalam jangka waktu yang panjang, hal tersebut dapat memicu kematian. Menyeramkan? Tapi begitulah adanya! Namun, tanpa cinta, manusia akan sulit untuk berkembang, bahkan jika semua kebutuhan dasar lainnya telah terpenuhi. Hal tersebut disebabkan karena cinta merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia.
Pertanyaan yang mungkin muncul selanjutnya adalah, bagaimana cinta dapat menyebabkan begitu banyak kebahagiaan?
Cinta jelas bukan 'hanya' emosi; cinta adalah proses biologis yang dinamis dan saling berinteraksi dengan berbagai aspek lainnya. Interaksi sosial antar individu, misalnya, memicu proses kognitif dan fisiologis yang mempengaruhi keadaan emosional dan mental individu. Dalam hal ini, kita cenderung untuk memelihara cinta yang ada dalam hubungan kita. Tubuh mencari cinta dengan cara berinteraksi dengan orang yang kita cintai, yang mana interaksi tersebut dapat menimbulkan kebahagiaan dalam diri kita. Selain itu, adanya interaksi sosial juga membantu kita dalam mengatasi stres. Individu dengan dukungan emosional dan hubungan yang baik dapat lebih kuat dalam menghadapi stres daripada mereka yang merasa terisolasi atau kesepian. Hal tersebut disebabkan karena hormon oksitosin, atau yang sering disebut dengan hormon cinta, dan area otak tertentu meningkatkan kapasitas tubuh untuk bertahan dari stres serta memungkinkan kita untuk lebih beradaptasi dengan lingkungan yang terus berubah.
“To have love in our lives requires us to love the world.” —Armin Zadeh
Terinspirasi dari buku The Forgotten Art of Love, dinyatakan bahwa sebagian besar kebahagiaan yang muncul pada diri kita berada di bawah kendali pribadi. Salah satunya adalah dengan melakukan suatu hal yang dapat mendorong munculnya hormon oksitosin. Artinya, dalam hidup, kita dapat menghadirkan cinta, baik terhadap diri sendiri maupun dalam interaksi kita dengan orang lain. Dalam hal ini, terdapat beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menghadirkan cinta tersebut:
A little bit of touch and hug won’t hurt - Bentuk keintiman fisik seperti berpelukan dan berpegangan tangan dapat membantu meningkatkan hormon oksitosin pada tubuh kita. Jadi, luangkanlah waktu beberapa saat untuk memeluk anak, saudara, pasangan, hingga hewan peliharaan kita setiap harinya.
Spend time with someone you care about - Menghabiskan waktu bersama orang tua, sahabat, pasangan dan orang lain yang kita cintai dapat menumbuhkan emosi positif pada diri kita. Merencanakan nonton film bersama, mengobrol dari hati ke hati, atau hal-hal lain yang dilakukan bersama mereka dapat membuat ikatan hubungan yang dimiliki semakin kuat.
Do something nice for someone - Memberi hadiah atau mempraktikkan perilaku yang baik terhadap orang lain juga dapat menimbulkan rasa bahagia pada diri kita, loh! Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain menawarkan bantuan kepada orang tua, memberi hadiah untuk sahabat, dan sebagainya.
Semoga artikel ini dapat bermanfaat, ya. Jangan lupa untuk selalu bahagia dan selamat menebar kasih dan sayang dengan orang-orang di sekitar!
PartnerInc, Your Learning Partner.
Referensi:
Carter, C. S., & Porges, S. W. (2013). The biochemistry of love: an oxytocin hypothesis. EMBO reports, 14(1), 12–16. https://doi.org/10.1038/embor.2012.191
Raypole, C. (2020). 12 Ways to Boost Oxytocin. Diakses pada 16 Februari 2021 dari https://www.healthline.com/health/how-to-increase-oxytocin
Zadeh, A. (2017). The Forgotten Art of Love. Novato, CA: New World Library.