Social Stressor dalam Lingkungan Kerja Toksik
Ditulis oleh Dwijaya Shaviola - Digital Learning Content Writer Intern di PartnerInc
Pernahkah Partners mendengar kasus karyawan stres bekerja dalam suatu perusahaan karena lingkungan kerja? Tidak cocok dengan atasan? Atau mungkin lingkungan kerja yang terlalu menjunjung senioritas? Mungkin Partners beranggapan bahwa situasi dalam lingkungan kerja merupakan hal yang bersifat saklek sehingga seorang karyawan harus mampu beradaptasi. Namun, perlu Partners ketahui bahwa toksiknya lingkungan kerja menjadi faktor utama penyebab meningkatnya tingkat stres karyawan, atau disebut juga dengan social stressor. Lingkungan kerja seperti apakah yang dapat meningkatkan stres seorang karyawan? Sebelum itu, kita perlu memahami dulu apa itu social stressor dalam bekerja beserta jenis-jenisnya!
Social stressor dalam bekerja merupakan praktik-praktik yang menyebabkan lingkungan kerja menjadi toksik (toxic work environment). Praktik-praktik ini dapat berupa cemoohan, hinaan, kurang apresiasi, serta ketidakadilan yang dilakukan oleh atasan kepada karyawan, oleh sesama rekan kerja, atau yang mendasar secara organisasional. Berdasarkan presentasi Semmer pada forum WHO, social stressor dalam lingkungan kerja terbagi menjadi dua, yaitu Illegitimate Tasks serta Dysfunctional Social Support.
Illegitimate Tasks
Illegitimate Tasks merupakan praktik pemberian tugas atau suruhan yang tidak lazim oleh seorang atasan kepada karyawannya, kepada sesama rekan kerja, atau berdasarkan sistem organisasional kantor. Berdasarkan survei yang dilakukan Semmer kepada 146 manajer senior di perusahaan Swiss, 62% dari manajer tersebut memiliki rasa benci yang tinggi terhadap tempat kerjanya akibat praktik Illegitimate Tasks. Oleh karena itu, Illegitimate Tasks menyebabkan tingginya rasa ketidaksukaan karyawan kepada tempat kerja. Praktik Illegitimate Tasks dapat berupa:
Unnecessary Tasks -> yaitu pemberian tugas yang tidak masuk akal atau yang tidak penting kepada karyawan
Unreasonable Tasks -> yaitu pemberian tugas karyawan lain kepada suatu karyawan atau tugas untuk mempermalukan suatu karyawan
Dysfunctional Social Support
Dysfunctional Social Support merupakan bentuk sikap buruk atasan atau rekan kerja kepada suatu karyawan dalam memberi atau tidak memberi bantuan. Dysfunctional Social Support ini menyebabkan munculnya perasaan kesal suatu karyawan kepada atasan atau rekan kerja. Bentuk-bentuk Dysfunctional Social Support ini dapat berupa:
Membantu dengan mencela (atau membantu dengan nada atau tatapan mencela)
Membantu dengan enggan
Selalu mengharapkan terima kasih
Tidak mau mendukung tanpa melihat fakta situasi
Menyuruh karyawan untuk mengatasi permasalahan tersebut sendiri
Pentingnya Membangun Lingkungan Kerja Positif
Nah, sekarang Partners sudah paham lingkungan kerja seperti apa yang dapat meningkatkan tingkat stres karyawan di tempat kerja. Lalu seperti apa lingkungan kerja yang positif itu?
Menurut WHO, pengakuan atau apresiasi dari atasan atau bahkan rekan kerja menjadi faktor fundamental untuk memenuhi kesehatan psikologis suatu karyawan sehingga suatu karyawan dapat betah bekerja dalam tempat kerja. Bagaimana caranya membangun lingkungan kerja yang positif?
Bentuk pengakuan atau apresiasi kepada karyawan harus terimplementasi dalam rancangan kerja, kebijakan organisasi, serta dalam interaksi sehari-hari dengan memperhatikan:
Dukungan emosional, seperti terbangunnya komunikasi yang baik, pemberian apresiasi, serta sikap peduli. Dukungan ini dapat datang dari atasan kepada karyawan atau kepada sesama rekan kerja
Dukungan instrumental, seperti membantu secara langsung atau pemberian informasi. Dukungan ini pun dilakukan oleh atasan kepada karyawan atau kepada sesama rekan kerja
Keseimbangan antara effort dan reward. Untuk poin ini, atasan harus mampu memberikan reward yang setimpal dengan usaha atau effort suatu karyawan. Reward ini dapat berupa gaji upah, prospek kerja, keamanan kerja, dukungan serta pengakuan.
Bagaimana menurut Partners? Apakah Partners sudah lebih paham mengenai social stressor dalam lingkungan kerja? Semoga artikel ini mampu membuat Partners mengidentifikasi lingkungan kerja negatif dan positif, mampu menghindari praktik social stressor dalam tempat kerja, serta mampu menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif!
PartnerInc, Your Learning Partner.
Referensi:
Semmer, N.K., (2007, Februari 14). Recognition and Respect (or lack thereof) as predictors of occupational health and well-being [PowerPoint Slides]. World Health Organization. https://www.who.int/occupational_health/topics/recognitionrespect140207.pdf