Psychological Well-Being Karyawan Di Era Pandemi

Artikel ini ditulis oleh Junita Tenggana - Digital Learning Content Writer Intern di PartnerInc.

Tidak terasa sudah lebih dari satu tahun kita hidup di tengah pandemi yang mengharuskan banyak dari kita Work From Home (WFH). Mewabahnya virus COVID-19 telah membawa banyak dampak pada berbagai aspek kehidupan manusia, baik secara fisik maupun mental. Sudah terdapat banyak penelitian yang menunjukkan pengaruhnya terhadap kesehatan mental manusia. Xiong dkk. (2020) menemukan bahwa populasi umum mengalami gejala kecemasan, depresi, post-traumatic stress disorder, tekanan psikologis, dan stres dengan tingkat tinggi selama pandemi COVID-19. Shigemura dkk. (2020) juga menemukan bahwa ketakutan akan transmisi virus COVID-19 dapat menyebabkan munculnya depresi, kebingungan, stres, dan kecemasan di antara individu yang sebelumnya belum pernah mengalami gangguan mental. Menurut Li dkk. (2020), para individu yang telah dikonfirmasi terinfeksi oleh virus COVID-19 dapat mengalami tekanan dan gangguan psikologis yang hebat. Pandemi COVID-19 pun juga dapat berdampak pada psychological well-being atau kesejahteraan psikologis pada pekerja atau karyawan. 

Berdasarkan model yang dibangun oleh Ryff & Keyes (1995), psychological well-being merupakan kemampuan individu untuk menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri dari tekanan sosial, mengendalikan lingkungan eksternal, serta memiliki makna dalam hidup dan menyadari potensinya secara terus menerus. Sedangkan menurut Burns (2016), psychological well-being dapat diartikan sebagai tingkat fungsi positif antar dan intra individu yang dapat mencakup keterkaitan seseorang dengan orang lain dan sikap referensi diri yang mencakup rasa penguasaan dan pertumbuhan pribadi. 

Studi menemukan bahwa psychological well-being pada ibu yang bekerja, terganggu oleh pandemi COVID-19 dan memiliki kondisi seperti takut dan cemas akan penularan COVID-19 maupun kondisi “stay at home” karena pandemi COVID-19. Namun, terdapat juga suatu studi menarik yang menemukan hal sebaliknya, yaitu para pekerja dalam suatu institusi pendidikan malah memiliki tingkat psychological well-being yang tinggi.

Psychological well-being pekerja penting untuk ditingkatkan atau dipertahankan pada tingkat yang tinggi. Menurut Keyes & Waterman (2003), karyawan yang memiliki tingkat psychological well-being tinggi akan menunjukkan sifat kooperatif yang lebih besar; bekerja tepat waktu; tingkat absensi rendah; dan dapat bekerja lebih lama. Hal tersebut akan mendorong karyawan untuk tetap produktif dalam menyelesaikan tanggung jawabnya. Perusahaan juga akan mendapatkan karyawan dengan pengalaman dan potensi yang dibutuhkan yang memiliki tingkat loyalitas dan dedikasi tinggi. 

Perusahaan dapat melakukan beberapa usaha untuk meningkatkan atau mempertahankan psychological well-being karyawan pada tingkat tinggi. Menurut Enoch Li, founder dari Bearapy, sistem pendukung krisis untuk membantu karyawan menghadapi tantangan pada pandemi sangat penting bagi perusahaan. Enoch Li menjelaskan beberapa cara yang dapat perusahaan ambil untuk menjaga kesehatan mental karyawannya, yaitu

  1. Menyediakan akses untuk membicarakan masalah mental

    Perusahaan dapat menyediakan akses hotline konseling dan sumber daya lainnya yang relevan pada karyawan serta memastikan para karyawan dapat mengaksesnya dengan mudah. Sering kali stigma masyarakat tentang kesehatan mental dapat menjadi suatu hambatan pada karyawan untuk membicarakan masalah yang mereka alami dan mencari bantuan. Perusahaan juga dapat menghadirkan ahli untuk mendorong keterbukaan karyawan dalam menceritakan masalah, kekhawatiran, maupun rasa stres yang sedang dialami.

  2. Mendorong karyawan untuk saling memperhatikan 

    Para karyawan harus didukung untuk memperhatikan satu sama lain. Perusahaan dapat mendorong karyawannya untuk lebih peka. Jika ada kolega yang menunjukkan perubahan perilaku maupun temperamen, kita dapat menanyakan apa hal yang sedang mengganggu mereka. Hal tersebut mungkin dapat mendorong yang bersangkutan untuk menuangkan ceritanya. Kita juga dapat menawarkan bantuan pada kolega yang dicurigai sedang mengalami gangguan mental dengan menghubungi dan mencari bantuan dari ahli. Tentu saja, dengan persetujuan dari yang bersangkutan.

  3. Memberikan wadah untuk berkeluh kesah antar karyawan

    Perusahaan dapat memfasilitasi karyawan-karyawan untuk mengungkapkan kekhawatiran dan mengekspresikan emosi mereka kepada satu sama lain. Hal ini dapat membantu karyawan membangun kepercayaan dan empati dengan satu sama lain karena menyadari bahwa mereka terlibat dan berbagi tantangan bersama.

  4. Kreatif dalam menjangkau karyawan

    Tidak seperti biasanya yang terlihat secara nyata di kantor, pada masa pandemi ini karyawan terisolasi dan bekerja di rumah. Perusahaan memberikan dukungan dan motivasi pada karyawannya, khususnya yang tinggal sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menghubungi karyawan dan menanyakan hal yang mungkin mereka butuhkan. Perusahaan juga harus kreatif dalam menjangkau karyawannya, misalnya dengan menawarkan konseling kesehatan mental melalui e-mail maupun aplikasi konferensi video.

Bagi Partners yang bekerja dari rumah jangan lupa untuk memperhatikan psychological well-being diri sendiri sembari bekerja, ya! Jangan ragu-ragu untuk mencari bantuan jika sedang menghadapi masalah kesehatan mental. Bagi para Partners yang berada di tingkat manajerial, jangan lupa untuk menerapkan tips-tips dalam menjaga kesehatan mental karyawannya, ya! Semoga artikel ini bermanfaat!

PartnerInc, Your Learning Partner. 

Referensi:

Burns, R. (2016). Psychosocial well-being. Encyclopedia of Geropsychology, 1–8. https://doi.org/10.1007/978-981-287-080-3_251-1

Halodoc, & Makarim, F. R. (28–10-20). Ini peran perusahaan menjaga kesehatan mental pekerjanya. Halodoc. https://www.halodoc.com/artikel/ini-peran-perusahaan-menjaga-kesehatan-mental-pekerjanya

Izzati, U. A., Budiani, M. S., Mulyana, O. P., & Puspitadewi, N. W. S. (2021). Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Karyawan Terdampak Pandemi COVID-19. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, 11(3), 315-325.

Keyes, C. L. M., & Waterman, M. B. (2003). Dimensions of well-being and mental health in adulthood. In M. H. Bornstein, L. Davidson, C. L. M. Keyes, & K. A. Moore (Eds.), Well-being: Positive development across the life course (pp. 477–497). Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Li, W., Yang, Y., Liu, Z. H., Zhao, Y. J., Zhang, Q., Zhang, L., Cheung, T., & Xiang, Y. T. (2020). Progression of mental health services during the COVID-19 outbreak in China. International Journal of Biological Sciences, 16(10), 1732–1738. https://doi.org/10.7150/ijbs.45120

Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719–727. https://doi.org/10.1037/0022-3514.69.4.719

Shigemura, J., Ursano, R. J., Morganstein, J. C., Kurosawa, M., & Benedek, D. M. (2020). Public responses to the novel 2019 coronavirus (2019‐nCoV) in Japan: Mental health consequences and target populations. Psychiatry and clinical neurosciences, 74(4), 281.

Sumakul, Y., & Ruata, S. (2020). Kesejahteraan Psikologis dalam masa Pandemi COVID-19. Journal of Psychology" Humanlight", 1(1), 1-7.

Xiong, J., Lipsitz, O., Nasri, F., Lui, L. M., Gill, H., Phan, L., Chen-Li, D., Iacobucci, M., Ho, R., Majeed, A., & McIntyre, R. S. (2020). Impact of COVID-19 pandemic on mental health in the general population: A systematic review. Journal of Affective Disorders, 277, 55–64. https://doi.org/10.1016/j.jad.2020.08.001

Previous
Previous

Apa Pentingnya Konsumsi Vitamin D di Masa Pandemi?

Next
Next

It’s All About the Mindset