Apa Pentingnya Konsumsi Vitamin D di Masa Pandemi?

Artikel ini ditulis oleh Dwijaya Shaviola - Digital Learning Content Writer Intern di PartnerInc.

Dalam situasi pandemi saat ini, kita seringkali mendengar bahwa berjemur di bawah sinar matahari menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan, terutama pada pasien positif COVID-19. Partners mungkin bertanya-tanya, apakah Vitamin D sepenting itu? Bukankah Vitamin D penting untuk tulang dan gigi, lalu apa hubungannya dengan perlawanan terhadap virus COVID-19?

Vitamin D merupakan hormon yang dapat mengatur gen layaknya vitamin lainnya. Bedanya, vitamin D terbentuk dalam kulit manusia dengan adanya paparan sinar ultraviolet B.

Vitamin D terbagi menjadi dua jenis, yaitu vitamin D2 dan D3. Vitamin D2 (ergocalciferol) didapatkan dari tanaman atau jamur yang terkena paparan sinar matahari. Sedangkan vitamin D3 (cholecalciferol) didapatkan dari sumber pangan hewani, seperti minyak ikan, hati, serta kuning telur. Vitamin D memiliki peran utama untuk pembentukan tulang dan gigi karena vitamin D dapat menyerap kalsium untuk tubuh. 

Tahukah, Partners? Konsumsi vitamin D dapat mengurangi tingkat kerentanan mengalami infeksi saluran pernapasan. Sebuah penelitian meta-analisis yang dilakukan Martineau, Jolliffe, dan Hooper (2016) menunjukkan terjadinya penurunan infeksi saluran pernapasan dari 55% menjadi 40.3% ketika orang mengonsumsi vitamin D setiap hari.  Hasil ini jauh lebih efektif dibandingkan dengan satu kali konsumsi vitamin D dengan dosis tinggi.

Lalu, bagaimana vitamin D dapat menurunkan infeksi virus COVID-19?

Systematic review yang berjudul ‘Vitamin D and COVID-19: Evidence and Recommendations for Supplementation’ (Griffin dkk., 2020), membahas beberapa informasi terkait fungsi vitamin D. Sel imun seperti sel T, sel B, dendritik, dan makrofag memiliki reseptor untuk vitamin D yang disebut dengan VDR. Melalui VDR, sel-sel imun tersebut berikatan dengan vitamin D. Ikatan ini membantu sel-sel imun tersebut untuk membunuh bakteri. Hal penting dari efek antibakteri yang dibantu oleh vitamin D ini adalah terdorongnya produksi cathelicidin oleh sel imun. Cathelicidin merupakan peptida atau protein yang bersifat membunuh bakteri. Cathelicidin tidak hanya diproduksi oleh sel makrofag, tetapi juga oleh sel epitel dan memiliki aktivitas antivirus, khususnya untuk melawan virus seperti SARS-CoV-2. Dalam jurnal medis ‘Antiviral Research’ (Telcian, 2017), vitamin D dapat mendorong efek antivirus terhadap rhinovirus dalam sel epitel pernapasan, yang mana rhinovirus merupakan virus utama penyebab flu. Oleh karena itu, berdasarkan informasi-informasi yang dikumpulkan dalam systematic review tersebut, disimpulkan bahwa Vitamin D berpotensi mendorong efek antivirus terhadap virus SARS-CoV-2 pula.

Tidak hanya itu, terdapat pula penelitian yang menghubungkan kekurangan vitamin D dengan peningkatan kematian akibat COVID-19 di negara dengan musim yang berbeda. Berdasarkan penelitian Moozhipurath, Kraft, dan Skiera (2020), negara dengan paparan sinar ultraviolet B yang rendah atau dengan suhu dingin, mengalami peningkatan kasus kematian COVID-19 dibandingkan dengan negara dengan musim panas. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sinar ultraviolet B yang membentuk vitamin D dalam kulit manusia memiliki peran pembentukan kekebalan terhadap virus COVID-19.

Lalu, berapa banyak dosis vitamin D yang harus dikonsumsi setiap harinya? Berdasarkan National Institutes of Health dari Kementerian Kesehatan Amerika Serikat, anak usia di atas 4 tahun hingga orang dewasa dianjurkan mengonsumsi 800 IU per hari. Namun, dosis konsumsi vitamin D tetap harus dikonsultasikan kepada dokter berdasarkan kondisi tubuh serta kesehatan masing-masing.

Apakah sekarang Partners sudah lebih paham mengenai pentingnya konsumsi vitamin D pada masa pandemi?

Semoga artikel ini mampu menjadi pengingat bagi kita semua untuk mengonsumsi vitamin D setiap harinya, menjaga protokol kesehatan, dan menjaga pola hidup sehat secara keseluruhan! 

PartnerInc, Your Learning Partner.


Referensi:

Alodokter, (t.t). Vitamin D. Diakses dari https://www.alodokter.com/vitamin-d 

Firdaus, Yusra. (2020). Sama-Sama Vitamin D, Apa Bedanya Vitamin D2 dan Vitamin D3? Diakses dari https://hellosehat.com/nutrisi/fakta-gizi/perbedaan-vitamin-d2-dan-vitamin-d3/ 

Griffin, G., Hewison, M., Hopkin, J., Kenny, R., Quinton, R., Rhodes, J., Subramanian, S., dan Thickett, D., (2020). Vitamin D and COVID-19: evidence and recommendations for supplementation. The Royal Society Publishing.

Martineau, A. R., Jolliffe, D. A., Hooper, R. L., (2016). Vitamin D supplementation to prevent acute respiratory tract infections: systematic review and meta-analysis of individual participant data. Dalam Br. Med. J. (Vol. 356).

Moozhipurath, R. K., Kraft, L., dan Skiera, B., (2020). Evidence of protective role of Ultraviolet-B (UVB) radiation in reducing COVID-19 deaths. Dalam Scientific Reports. (Vol. 10). Nature Research.

National Institutes of Health. (t.t). Vitamin D. Diakses dari https://ods.od.nih.gov/factsheets/VitaminD-HealthProfessional/ 

Telcian, A. G., Zdrenghea, M. T., Edwards, M R., Laza-Stanca, V., Mallia, P., Johnston, S. L., dan Stanciu. L. A., (2017). Vitamin D increases the antiviral activity of bronchial epithelial cells in vitro. Dalam Antiviral Research. (Vol. 137, pp. 93-101).

Previous
Previous

Membuat Keputusan Karier tanpa kesulitan

Next
Next

Psychological Well-Being Karyawan Di Era Pandemi