Hustle Culture is Never a Good Culture

Artikel ini ditulis oleh Dwijaya Shaviola. Digital Learning Content Writer Intern di PartnerInc.

Partners pasti sering mendengar atau melihat kata hustle. Mungkin dari bio Twitter salah satu teman dengan kata “hustling”, atau mungkin dari Instastory teman-teman yang berisi foto begadang mengejar deadline paper dengan tulisan “hustling”. Mungkin sebagian dari kita lalu mencari tahu arti “hustle” dari mesin pencarian Google. Ternyata, bekerja dengan “hustling” itu keren. Bekerja keras. Itulah image yang dipasang semua orang dalam bekerja. Bekerja terus. Bekerja non-stop. Itulah image yang ada dalam benak semua orang terkait bekerja hingga akhirnya terciptalah apa yang dinamakan hustle culture.

Hustle culture ini terlihat keren. Ada di antara kita yang akhirnya bekerja dengan mengikuti hustle culture, mendaftar volunteer, freelance, mengerjakan banyak sekali hal dalam satu waktu. Bahkan mungkin kita cukup terbiasa dengan budaya ini, sampai akhirnya muncul perdebatan terkait buruknya hustle culture. Memangnya seburuk itu bekerja keras? Bukannya bagus ya memiliki banyak pekerjaan? Jadi, sebenarnya apa sih hustle culture?


Apa itu Hustle Culture?

Hustle culture dapat didefinisikan sebagai budaya bekerja dengan jam kerja panjang selama berhari-hari demi menyelesaikan beberapa pekerjaan. Dari selesainya satu pekerjaan, pola bekerja dalam jam kerja panjang selama berhari-hari pun terulang lagi untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan berikutnya. Dan pola ini terus berulang hingga membentuk budaya kerja yang disebut hustle culture. 

Dengan hustle culture, pekerjaan tidak hanya diselesaikan di kantor atau sekolah. Pekerjaan dapat dikerjakan di manapun, mulai dari di cafe, mal, hingga di rumah. Dengan hustle culture, pekerjaan tidak hanya diselesaikan pada hari kerja saja. Pekerjaan dapat diselesaikan kapanpun, mulai dari hari Senin hingga Minggu, bahkan pada Hari Raya. 

Apabila melihat hustle culture berdasarkan penjelasan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hustle culture ini seakan mengambil 'seluruh' waktu dalam kehidupan kita dan membuat kita tidak bisa melakukan hal lain di luar kerjaan. Jika ini terjadi, maka tentunya hustle culture ini adalah hal yang buruk. Lalu, bagaimana hustle culture terbentuk sejak awal?


Awal Mula Hustle Culture

Budaya bekerja “hustling” dapat disebut terbentuk sejak akhir abad 19. Pada masa ini, sebutan “pentingnya bekerja lebih keras” ditujukan pada ras Afrika Amerika. Ras kulit hitam distereotipkan sebagai ras pemalas oleh media Amerika Serikat. Bagi media, ras kulit hitam sulit untuk berintegrasi pada perekonomian setelah masa emansipasi di Amerika Serikat dikarenakan “kurangnya bekerja keras”. Stereotip tersebut memotivasi ras Amerika Serikat serta seluruh warga Amerika Serikat untuk menerapkan dan menganut budaya “hustling” agar lebih sukses. 

Pada akhir abad 20, budaya “hustling” dipromosikan oleh para musisi melalui beberapa lagu, dengan menyiratkan bagaimana “bekerja keras” adalah kunci kesuksesan dan ketenaran mereka. Tidak hanya musisi, tokoh sukses seperti Elon Musk, CEO SpaceX dan Tesla, hidup dengan motto “banyak cara mudah untuk bekerja, tapi tidak ada seorang pun yang dapat mengubah dunia dengan 40 jam kerja untuk satu minggu”. Motto seperti ini membentuk mindset bahwa orang-orang harus bekerja lebih lama dan lebih banyak untuk dapat membuat perubahan.

Sejak saat itu, budaya kerja Milenial dan Gen Z didefinisikan berdasarkan seberapa banyak pekerjaan yang dapat dilakukan setiap harinya. Tidak heran ketika beberapa dari kita memiliki dua atau lebih pekerjaan dalam waktu bersamaan. 

Don’t stop when you’re tired, stop when you are done.

Mungkin beberapa dari Partners masih berpikir bahwa tidak ada salahnya bekerja keras. Bahkan, tanpa perdebatan terkait buruknya hustle culture, Partners tidak akan menyadari bahwa ada sebagian dari kita memiliki pola bekerja yang toksik. Jadi, apa yang salah dengan hustle culture?

Dark Impacts of Hustle Culture 

Bekerja “hustling” memiliki satu tujuan untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan sebanyak-banyaknya dengan waktu dan tempat yang “fleksibel”. Dilakukan di manapun dan kapanpun. Apa akibatnya apabila bekerja seperti ini? Benar, hal yang dapat terjadi adalah burnout. Tidak mengenal waktu istirahat akan menyebabkan otak dan fisik lelah untuk bekerja, serta dapat mengarah pada bentuk stres lainnya, seperti demotivasi atau hilangnya motivasi untuk bekerja. Pikiran kita terkait bekerja adalah bahwa definisi bekerja adalah bekerja sebanyak-banyaknya. Dan memikirkan untuk bekerja lagi membuat pikiran lebih lelah lagi. Hustle culture juga dapat menyebabkan bentuk stres seperti anxiety atau kecemasan. Partners mungkin cemas apabila tidak melakukan pekerjaan lebih banyak dari orang lain, cemas karena melakukan satu pekerjaan saja tidak menjadikan Partners “bekerja seperti seharusnya”, atau cemas karena pekerjaan satu belum selesai tapi pekerjaan lainnya sudah menghantui. 

Terakhir, dampak negatif paling krusial yang mungkin dapat terjadi dari adanya hustle culture adalah kualitas pekerjaan yang buruk. Ketika ‘hustling’, tujuan utamanya hanyalah sekadar untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut sehingga kualitas pun mungkin tidak terpikirkan lagi. Lantas dengan begitu, di manakah esensi bekerja? Bagaimana bisa membuat perubahan apabila pekerjaan yang dihasilkan pun tidak berkualitas?

Bekerja Efisien >> Hustle Culture

Working efficiently is way much better than hustle culture. Hustle culture tidak sama dengan bekerja efisien. Bekerja efisien adalah mengetahui bahwa bekerja yang baik adalah bekerja produktif sesuai kapabilitas fisik dan otak kita. Karena tujuan bekerja adalah untuk berkontribusi, untuk membuat perubahan. Dengan bekerja efisien, Partners tetap mempertahankan kualitas suatu pekerjaan. Tapi, bekerja efisien itu bekerja seperti apa? 

Pertama, fokus pada satu pekerjaan. Untuk Partners yang masih kuliah, tidak perlu merasa insecure dan tersaingi dengan teman-teman yang mengikuti banyak kepanitiaan atau magang. Partners bekerja dalam laju atau pace Partners sendiri. Akan lebih baik ketika Partners berfokus mendalami satu pekerjaan, namun tetap bisa totalitas menuangkan kreativitas Partners pada satu pekerjaan tersebut. Ketahuilah bahwa HR akan mencari pekerja yang menggeluti satu pekerjaan namun menguasai pekerjaan tersebut, dibandingkan dengan pekerja yang memiliki banyak pengalaman namun tidak mendalami pekerjaan-pekerjaan tersebut. Untuk Partners yang telah bekerja, akan lebih baik untuk berfokus pada satu pekerjaan Partners.

Kedua, bekerja efisien adalah bekerja dengan waktu yang teratur, seperti dari hari Senin hingga Kamis atau Jumat, lalu menggunakan Sabtu dan Minggu untuk beristirahat. Bekerja dengan pola seperti ini dapat membuat Partners lebih menikmati adanya weekend serta dapat semangat untuk memulai bekerja lagi dari hari Senin karena Partners memiliki empat atau lima hari produktif. 

Ketiga, selama bekerja, Partners harus mengetahui bahwa istirahat itu penting. Meskipun hanya sekadar lima menit setiap 20 menit bekerja, tapi itu cukup untuk mengistirahatkan otak dari layar laptop.

Keempat, menghargai proses. Pekerjaan berkualitas tidak akan terbentuk tanpa menghargai proses itu sendiri. Partners melakukan proses pengerjaan seefektif mungkin dengan menyempatkan untuk mengoreksi hingga memunculkan ide-ide menarik. Apabila Partners menghargai proses, Partners juga dapat lebih menyukai pekerjaan karena pekerjaan menjadi lebih menyenangkan. Selain itu, Partners akan lebih puas dengan kualitas hasil dari proses itu sendiri. 

Beberapa dari Partners mungkin menyukai budaya “hustling”. Tapi, dengan penjelasan artikel ini, semoga Partners lebih memahami bahwa budaya “hustling” yang seharusnya kita miliki adalah bekerja secara efisien. Ingat, “Work Hard, Rest Hard”. 

PartnerInc, Your Learning Partner.

Referensi:

Headversity, (t.t). The Toxicity of Hustle Culture: The Grind Must Stop. Diakses dari https://headversity.com/the-toxicity-of-hustle-culture-the-grind-must-stop/

Johnson, Lauren. (t.t). Is Hustle Culture Hacking Down at Our Wellbeing? Diakses dari https://www.lappthebrand.com/blogs/culture/is-hustle-culture-hacking-down-at-our-wellbeing 

Ramos, Timothy. (2020). Hustle Culture: More Harmful Than Helpful. Diakses dari https://blog.runrun.it/en/hustle-culture/ 

Robinson, Bryan E., (2019). The 'Rise and Grind' of Hustle Culture. https://www.psychologytoday.com/us/blog/the-right-mindset/201910/the-rise-and-grind-hustle-culture 

The Finery Report, (2021). Hustle culture and the burnout generation. Diakses dari https://www.thefineryreport.com/articles/2021/2/25/hustle-culture-and-the-burnout-generation 

Previous
Previous

Leisure During Pandemic

Next
Next

Rasa Bersalah Karena Tidak Produktif